Ketika mendengar pidato perdana Prabowo Subianto setelah resmi terpilih sebagai presiden, ada satu hal yang langsung menarik perhatian saya—rencana pembentukan kabinet besar yang bisa dibilang "gemuk". Nah, nggak butuh waktu lama, PDIP langsung melontarkan kritiknya terhadap rencana ini. Dan jujur, saya cukup paham kenapa PDIP menyuarakan keberatannya.
Kenapa Kabinet Gemuk Itu Masalah?
Jadi begini, kalau kabinet terlalu gemuk, itu berarti kita punya terlalu banyak menteri dengan fungsi yang mungkin tumpang tindih. Dan coba bayangkan, kalau koordinasi antar kementerian nggak lancar, kebijakan pun bisa berantakan. PDIP sendiri bilang bahwa kabinet yang besar bisa bikin pemerintahan jadi nggak efisien. "Bukan cuma soal banyaknya menteri, tapi kalau nggak efisien, ya malah bisa bikin kacau," kata salah satu tokoh PDIP dalam sebuah diskusi yang saya baca.
Saya ingat, dulu ada cerita seorang teman yang kerja di pemerintahan. Dia bilang, semakin banyak pejabat, semakin rumit koordinasinya. Pernah dalam satu proyek, ada dua kementerian yang terlibat tapi mereka punya aturan yang nggak sinkron. Hasilnya? Proyek itu molor berbulan-bulan hanya karena soal regulasi yang tumpang tindih. Nggak kebayang kalau hal serupa terjadi di tingkat nasional!
Efektivitas Vs Efisiensi: Harus Seimbang
Prabowo bilang, kabinet yang besar penting untuk merangkul semua elemen masyarakat dan memastikan setiap wilayah terwakili. Di satu sisi, saya setuju. Representasi itu penting banget, terutama di negara sebesar Indonesia yang punya banyak kepentingan dan tantangan regional. "Kita ingin merangkul semua pihak, memberikan tempat bagi semua elemen," begitu kira-kira intinya. Tapi, PDIP mengingatkan kita untuk nggak lupa soal efisiensi.
Ini kayak analogi yang sering dipakai: kalau kita mau bunuh nyamuk, ya nggak perlu pakai bom. "Efektif, iya. Tapi nggak efisien, kan?" Itulah poin utama yang ditekankan PDIP. Kalau kabinet gemuk cuma efektif secara politis tapi nggak efisien, kita mungkin akan melihat kebijakan yang berjalan di tempat atau bahkan berbalik merugikan rakyat.
Pelajaran dari Pemerintahan Sebelumnya
Kalau kita lihat ke belakang, ada beberapa presiden Indonesia yang memilih kabinet besar dan ada juga yang memilih kabinet lebih ramping. Nah, pengalaman saya membaca sejarah politik, kabinet yang terlalu besar sering kali terjebak dalam birokrasi yang lamban. Misalnya, saat ada dua kementerian yang menangani isu serupa, bukannya mempercepat solusi, malah jadi rebutan kewenangan.
Dalam pandangan saya, Prabowo perlu hati-hati dengan penambahan menteri ini. Bukan cuma soal anggaran yang lebih besar, tapi bagaimana supaya kabinet besar ini nggak berakhir dengan masalah koordinasi. "Kalau terlalu banyak dapur, bisa-bisa malah makanannya nggak matang-matang," begitu kata seorang pengamat politik dalam artikel yang saya baca.
Apa yang Bisa Dipelajari?
Sebagai warga negara yang peduli dengan masa depan bangsa, saya rasa kita perlu memperhatikan isu kabinet ini. Meski rencana Prabowo untuk merangkul banyak pihak itu penting, jangan sampai kita lupa bahwa efisiensi dan kemampuan eksekusi kebijakan adalah yang paling menentukan keberhasilan pemerintahan. Kalau tidak, mungkin kita akan terjebak dalam kebijakan yang jalan di tempat.
Untuk ke depannya, mungkin kita bisa berharap bahwa Prabowo dan timnya lebih memperhatikan aspek manajemen dan efisiensi dalam menentukan struktur kabinet. Karena, jujur aja, kita semua ingin melihat pemerintahan yang benar-benar bisa bergerak cepat dan memberikan hasil nyata bagi rakyat.
Kesimpulannya, kabinet gemuk mungkin efektif secara politis, tapi tanpa efisiensi, semua itu bisa jadi bumerang. "Lebih baik sedikit tapi solid, daripada banyak tapi kacau," itulah pelajaran yang bisa kita ambil dari kritik PDIP.